Larangan Buku Malaysia Semakin Meningkat. Di tengah semangat Hari Buku Dunia yang baru lalu, Malaysia justru hadapi gelombang sensor yang bikin pembaca geleng-geleng kepala. Hingga Oktober 2025, Kementerian Dalam Negeri telah larang 24 buku—lebih banyak dari total larangan enam tahun sebelumnya gabungan. Dari novel romansa ringan hingga thriller berbahaya, buku-buku ini disita karena dianggap “tidak diinginkan” di bawah Printing Presses and Publications Act (PPPA). Ini bukan tren sementara; data tunjukkan peningkatan dua kali lipat item dilarang di lima bulan pertama 2025 dibanding seluruh 2024. Saat pemerintah Anwar Ibrahim janjikan reformasi, langkah ini malah picu protes: penulis bilang ini mundur ke era otoriter. Di era digital di mana buku mudah dibagikan, larangan ini tak cuma hentikan penjualan—ia bunuh diskusi bebas. Apa yang bikin Malaysia, negara multikultural, tambah ketat soal bacaan? BERITA BASKET
Alasan di Balik Gelombang Sensor yang Melonjak: Larangan Buku Malaysia Semakin Meningkat
Peningkatan larangan buku di Malaysia 2025 bukan kebetulan, tapi respons pemerintah terhadap tekanan moral dan politik. Kementerian Dalam Negeri sebut PPPA sebagai alat lindungi “nilai-nilai masyarakat” dari konten yang ancam harmoni sosial—terutama tema sensitif seperti seksualitas, agama, dan politik. Pada Februari lalu, tiga buku langsung disita karena dianggap promosi gaya hidup “tidak selaras” dengan norma mayoritas. Ini lanjutan tren: sejak 2024, sensor naik karena pengaruh kelompok konservatif yang dorong “pembersihan” budaya.
Faktor lain? Pemilu mendatang dan isu identitas. Pemerintah tak mau ambil risiko kontroversi, apalagi pasca-protes besar soal isu LGBTQ+ di media sosial. Hasilnya, 24 buku dilarang tahun ini, termasuk yang impor dari Singapura dan Indonesia. Kritikus bilang ini overreach: PPPA, undang-undang era kolonial, beri kuasa mutlak ke “petugas tak berwajah” tanpa banding. Amnesty International laporkan, ini senjata moral yang dipakai untuk kendalikan narasi—bukan lindungi, tapi batasi. Di 2025, dengan ekonomi pulih pasca-pandemi, pemerintah pilih jalan aman: sensor daripada debat terbuka. Akibatnya, penerbit kecil kena paling parah, banyak yang tunda rilis buku baru.
Contoh Buku yang Jadi Korban dan Dampak Ekonomi: Larangan Buku Malaysia Semakin Meningkat
Daftar buku dilarang 2025 macam-macam, tapi pola jelas: target utama konten yang “menyimpang” dari norma. Ambil contoh, dua novel romansa impor dilarang Maret lalu karena adegan intim dianggap “porno”—padahal standar internasionalnya biasa saja. Thriller seperti “The Silent Patient” versi lokal disita karena elemen psikologis yang “ganggu mental”. Yang paling kontroversial: tiga buku dengan tema LGBTQ+ Februari, termasuk memoar aktivis yang cerita perjuangan identitas—langsung disita karena “ancam moral umat”.
Ini bukan cuma soal judul; dampaknya ekonomi nyata. Penerbit seperti Gerakbudaya rugi jutaan ringgit karena stok disita tanpa kompensasi—satu kasus, 500 eksemplar dibakar. Penulis lokal seperti Faisal Tehrani, yang bukunya sering kena sasaran, bilang ini bunuh kreativitas: “Kami tulis untuk rakyat, bukan sensor.” Di pasar buku yang tumbuh 10 persen tahun ini, larangan bikin impor ragu—Singapura bahkan batasi ekspor ke Malaysia. Hasilnya, pembaca beralih ke PDF bajakan, tapi itu malah rugikan industri legal. Di 2025, dengan festival buku KLIF seperti biasa ramai, tapi bayang sensor bikin suasana tegang—banyak penulis tolak undangan takut kena imbas.
Reaksi Masyarakat dan Panggilan Internasional
Masyarakat Malaysia tak diam; pemberontakan diam-diam meledak di medsos dan komunitas baca. Grup seperti “Baca Bebas” di Facebook punya 50 ribu anggota, bagikan PDF buku dilarang dan diskusi rahasia. Penulis bergabung: pada Juni, ratusan tanda tangan petisi tolak PPPA, sebut itu “sensor ala lama”. Di universitas seperti UiTM, mahasiswa demo kecil-kecilan, tuntut akses bebas ke perpustakaan.
Internasional ikut campur. PEN International, pada Hari Buku Dunia April lalu, panggil akhir larangan Malaysia—sebut sembilan buku awal tahun sebagai “serangan ke kebebasan berekspresi”. Amnesty soroti sensor LGBTQ+ sebagai diskriminasi, tuntut reformasi PPPA. Bahkan di ASEAN, Indonesia dan Filipina sebut ini mundur demokrasi. Pemerintah balas: larangan demi “harmoni”, tapi Anwar akui butuh review—tapi belum ada tindak lanjut. Di 2025, dengan pemilu 2026 dekat, ini jadi amunisi oposisi: PAS sebut terlalu longgar, DAP terlalu ketat. Reaksi ini bukti: sensor tak hentikan rasa ingin tahu, malah nyalakan api perlawanan.
Kesimpulan
Larangan buku Malaysia yang melonjak di 2025 bukan cuma soal kertas dan tinta—ia gejala lebih dalam: ketakutan akan perubahan di masyarakat multikultural. Dengan 24 buku disita, dari romansa hingga memoar, pemerintah pilih sensor daripada dialog, tapi itu malah picu reaksi balik dari pembaca dan dunia luar. Saat KLIF 2025 dekat, harap ini jadi momen refleksi: reformasi PPPA bisa selamatkan industri buku, bukan bunuhnya. Bagi Malaysia, buku bukan ancaman—ia jembatan. Saatnya pilih: tutup halaman, atau buka bab baru kebebasan. Pemerintah, dengar suara pembaca—sebelum terlambat.
Leave a Reply