Macron Didesak Untuk Mengakhiri Krisis Politik Prancis. Pagi 8 Oktober 2025, Istana Elysee jadi pusat badai politik Prancis yang semakin ganas. Presiden Emmanuel Macron kini didesak habis-habisan untuk akhiri krisis yang sudah merundung negara itu sejak pemilu legislatif musim panah 2024. PM keluar Sébastien Lecornu, yang cuma bertahan 26 hari, mulai negosiasi darurat dengan pemimpin partai untuk cari jalan keluar, tapi harapan tipis. Mantan sekutu seperti Edouard Philippe—PM pertama Macron—langsung serukan dia mundur, sementara oposisi kiri dan kanan desak pemilu parlemen snap atau pembubaran majelis. Krisis ini bukan lagi soal kebuntuan parlemen, tapi ancaman stabilitas ekonomi dan kepercayaan publik yang anjlok. Dengan pasar goyah dan rating Macron di titik terendah, tekanan ini bisa jadi titik balik—atau akhir era kepemimpinannya. Kita kupas kronologi, desakan, dan opsi yang ada di meja. MAKNA LAGU
Kronologi Krisis: Dari Gamble Pemilu ke Kebuntuan Total: Macron Didesak Untuk Mengakhiri Krisis Politik Prancis
Semua bermula dari taruhan berani Macron di Juni 2024: panggil pemilu legislatif dini usai kekalahan di pemilu Eropa. Hasilnya? Hung parliament tanpa mayoritas jelas, dengan blok kiri New Popular Front unggul tapi terpecah, Renaissance Macron ambruk, dan far-right National Rally Bardella naik daun. Sejak itu, Prancis ganti lima PM dalam tiga tahun: dari Attal yang jatuh, Bayrou yang mundur cepat, hingga Lecornu yang terbaru. Parlemen tolak anggaran austerity, blokir reformasi pensiun, dan bikin pemerintah minoritas Lecornu kolaps dalam waktu rekor.
Kini, di Oktober 2025, krisis ini picu efek domino: defisit anggaran meledak, obligasi Prancis turun, dan rating kredit terancam. Macron coba navigasi dengan janji “dialog mendesak” ke kiri, tapi negosiasi pagi ini dengan centrist dan centre-right tampak pesimis. Ini krisis terburuk sejak 1950-an, di mana parlemen jadi arena pertarungan harian, dan Macron—dulu “Jupiter” tak tersentuh—kini terpojok tanpa alat konstitusional kuat lagi. Intinya, gamble 2024 yang gagal ini ubah Prancis dari powerhouse Eropa jadi contoh kebuntuan demokrasi modern.
Tekanan dari Sekutu dan Oposisi: Seruan Mundur yang Menggema: Macron Didesak Untuk Mengakhiri Krisis Politik Prancis
Macron tak lagi sendirian di puncak—bahkan sekutu lama mulai berbalik. Edouard Philippe, PM pertamanya yang kini rival potensial, buka suara keras: “Macron harus mundur untuk selamatkan Prancis.” Mantan PM lain ikut: Attal kritik strategi Macron, sementara Bayrou sebut dia “terisolasi total.” Di parlemen, far-left Mélenchon desak pemilu snap, sementara far-right Le Pen dan Bardella boikot pertemuan Matignon kemarin, tuduh Macron cuma beli waktu demi selamatkan kursi.
Oposisi gabung suara: centre-right Les Républicains tolak koalisi apa pun tanpa jaminan, sementara kiri tuntut reformasi sosial radikal. Publik juga geram—demo sporadis di Paris tuntut “Macron keluar,” dengan polling tunjukkan 60% warga anggap dia gagal pimpin krisis. Bahkan di X, tagar #MacronDemission tren sejak akhir pekan, campur kritik ekonomi dan sindiran atas gaya kepemimpinannya yang kaku. Tekanan ini bukan bisik-bisik belakang layar, tapi serangan frontal yang bikin Macron kehilangan basis dukungan, dorong dia ke jurang keputusan sulit.
Opsi di Depan: Pemilu Snap, Mundur, atau Pemerintahan Hantu?
Macron punya tiga jalan buntu: pertama, panggil pemilu parlemen snap sebelum akhir tahun, tapi ini risiko tinggi—bisa kuatkan far-right atau kiri radikal, ulangi kekacauan 2024. Kedua, mundur dini dan biarkan wakil presiden sementara, tapi konstitusi Prancis tak izinkan itu mudah, plus Macron tolak jadi “pemimpin gagal” di usia 47. Ketiga, bentuk pemerintahan minoritas lemah yang bergantung suara harian—seperti Lecornu coba—tapi ini cuma tunda krisis, dengan parlemen yang sudah tolak anggaran tiga kali.
Negosiasi Lecornu hari ini target kesepakatan Rabu malam, tapi komentator skeptis: tanpa mayoritas, Prancis bisa lumpuh berbulan-bulan, picu resesi mini. Uni Eropa awasi ketat, khawatir krisis ini bocor ke zona euro, sementara pasar obligasi Prancis sudah naik yield-nya 0,5% minggu ini. Opsi terbaik? Mungkin koalisi grand ala Jerman, tapi ego partai bikin itu mustahil. Macron harus pilih: ambil risiko pemilu untuk reset, atau bertahan dan hadapi isolasi lebih dalam.
Kesimpulan
Krisis politik Prancis di Oktober 2025 jadi ujian akhir bagi Macron: dari kronologi pemilu gagal yang picu kebuntuan, tekanan seruan mundur dari sekutu hingga oposisi, dan opsi sulit di depan mata. Dengan Lecornu negosiasi darurat dan pasar gelisah, waktu Macron makin sempit—mundur bisa selamatkan warisannya, pemilu snap beresiko tinggi, tapi diam berarti lumpuh total. Prancis, negeri revolusi, kini butuh pemimpin yang tegas, bukan penonton. Saat mata dunia tertuju Elysee, satu hal pasti: krisis ini takkan selesai sendiri, dan pilihan Macron besok bisa ubah arah Eropa. Waktu berjalan cepat—semoga dia dengar desakan itu sebelum terlambat.
Leave a Reply