Israel Sudah Mulai Menarik Pasukannya dari Gaza. Dunia menghela napas lega setelah lebih dari dua tahun konflik yang berdarah-darah, Israel resmi mulai menarik pasukannya dari Jalur Gaza pada Jumat pagi, 10 Oktober 2025. Langkah ini bagian dari kesepakatan ceasefire tahap pertama dengan Hamas, yang disetujui Kementerian Keamanan Israel dini hari tadi setelah jaminan akhir perang Gaza. Pasukan IDF, yang sudah bertempur sejak Oktober 2023, kini mundur secara bertahap ke garis deployment baru, membuka jalan bagi pelepasan sandera Israel dan tahanan Palestina. Di tengah puing-puing Gaza yang hancur, ribuan warga Palestina mulai kembali ke rumah di utara, meski Israel pertahankan kontrol atas sekitar 53 persen wilayah tersebut. Kesepakatan ini, yang difasilitasi mediator AS, Qatar, dan Mesir, tandai titik balik potensial, tapi juga penuh ketidakpastian—apakah ini akhir konflik atau jeda sementara? Bagi Gaza yang kehilangan puluhan ribu nyawa, ini harapan rapuh di tengah luka yang dalam. BERITA TERKINI
Detail Kesepakatan Ceasefire dan Proses Penarikan Pasukan: Israel Sudah Mulai Menarik Pasukannya dari Gaza
Kesepakatan ceasefire ini lahir dari negosiasi maraton yang nyaris gagal berkali-kali, tapi akhirnya disetujui setelah Hamas terima jaminan akhir perang Gaza. Fase pertama mencakup pelepasan semua sandera Israel yang ditahan Hamas—sekitar 100 orang—dalam 72 jam, ditukar dengan ratusan tahanan Palestina dari penjara Israel. Penarikan pasukan IDF dimulai pagi ini, dengan target selesai siang hari, mundur ke garis yang disepakati di timur Gaza, termasuk koridor Philadelphi di perbatasan Mesir. Israel tetap pegang kendali atas sebagian besar wilayah selatan dan pusat, termasuk zona bantalan, untuk cegah infiltrasi Hamas.
Proses penarikan ini tak mudah; IDF sudah mulai evakuasi peralatan berat dari posisi utara seperti Jabalia, di mana pertempuran paling sengit tahun lalu. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sebut ini “langkah bijak untuk selamatkan nyawa sandera”, tapi tegas bahwa operasi bisa dilanjutkan jika Hamas langgar kesepakatan. Hamas, dari sisi lain, klaim ini kemenangan atas “penghancuran Zionis”, meski mereka setuju hentikan roket ke Israel. Mediator AS, di bawah arahan Presiden Joe Biden, pantau proses ini secara real-time, dengan pasukan AS siap intervensi jika perlu. Kesepakatan juga termasuk bantuan kemanusiaan massal ke Gaza, dengan truk bantuan mulai masuk melalui Rafah sejak subuh, membawa makanan, obat, dan air untuk jutaan warga yang kelaparan.
Dampak Langsung bagi Warga Gaza dan Dinamika Militer: Israel Sudah Mulai Menarik Pasukannya dari Gaza
Bagi warga Gaza, penarikan ini seperti sinar terang di tengah kegelapan. Ribuan keluarga pengungsi yang terjebak di selatan kini bergerak utara, kembali ke rumah-rumah yang roboh di Beit Lahia dan Gaza City, meski banyak yang hanya puing. Laporan awal tunjukkan kemacetan di jalan raya utama, dengan warga bawa barang seadanya di gerobak dorong atau punggung. Rumah sakit seperti Al-Shifa mulai buka pintu lagi untuk pasien non-perang, meski stok obat masih kritis. Tapi kegembiraan ini dicampur ketakutan: Israel peringatkan bahwa zona utara tetap “area berisiko”, dan Hamas sudah mulai reorganisasi di reruntuhan.
Secara militer, penarikan ini kurangi tekanan pada IDF, yang sudah kehilangan lebih dari 700 prajurit sejak awal konflik. Pasukan mundur ke posisi baru yang lebih aman, fokus patroli perbatasan daripada operasi darat intensif. Ini juga beri ruang bagi Hamas untuk bernapas, meski kelompok itu janji tak bangun ulang infrastruktur militer di zona yang dibuka. Dampak ekonomi Gaza langsung terasa: pasar hitam tutup sementara, dan harga makanan turun 30 persen di Rafah. Tapi tantangan besar: rekonstruksi Gaza butuh miliaran dolar, dan PBB perkirakan butuh lima tahun untuk pulihkan listrik dan air bersih. Di Israel, keluarga sandera gelar demonstrasi damai di Tel Aviv, tuntut jaminan pelepasan cepat tanpa jebakan.
Reaksi Internasional dan Tantangan Ke Depan
Reaksi dunia bercampur optimisme dan skeptisisme. PBB, melalui Sekjen Antonio Guterres, puji kesepakatan sebagai “langkah berani menuju perdamaian”, tapi ingatkan fase kedua—penarikan penuh dan akhir blokade—harus ikut tanpa hambatan. Uni Eropa janji tambah bantuan 500 juta euro, sementara Arab Saudi dan UEA buka pintu normalisasi dengan Israel jika Gaza aman. Di AS, Biden sebut ini “kemenangan diplomasi”, meski oposisi Republik kritik sebagai “penyerahan ke teroris”. Hamas dapat dukungan dari Iran dan Qatar, tapi tekanan dari Mesir untuk patuhi kesepakatan agar Rafah tetap terbuka.
Tantangan ke depan tak ringan. Israel khawatir Hamas gunakan jeda untuk rearm, sementara Gaza hadapi risiko pecah kelaparan jika bantuan tertunda. Fase kedua kesepakatan, yang libatkan penarikan total dan pembangunan kembali, bisa gagal jika Netanyahu hadapi tekanan koalisi kanannya. Hamas juga uji batas, dengan laporan awal soal patroli bersenjata di utara. Secara regional, ini bisa redam ketegangan Lebanon-Israel, di mana Hezbollah sudah kurangi serangan roket. Tapi bagi Gaza, yang 80 persen rumahnya hancur, tantangan terbesar adalah rekonsiliasi internal—antara warga sipil dan faksi bersenjata yang saling tuduh.
Kesimpulan
Penarikan pasukan Israel dari Gaza pada 10 Oktober 2025 jadi momen bersejarah yang penuh harapan, lahir dari kesepakatan ceasefire yang janjikan pelepasan sandera dan bantuan kemanusiaan. Dari detail fase pertama hingga dampak bagi warga yang kembali pulang, langkah ini buka pintu perdamaian rapuh di tengah luka mendalam. Reaksi global positif, tapi tantangan seperti rekonstruksi dan patuh kesepakatan tetap jadi ujian besar. Bagi Israel dan Palestina, ini bukan akhir, tapi awal jalan panjang menuju koeksistensi. Di wilayah yang sudah terlalu lama berdarah, jeda ini ingatkan bahwa diplomasi bisa menang atas peluru—asalkan semua pihak pegang janji mereka. Dunia tunggu fase selanjutnya, berharap Gaza bangkit dari abu sebagai simbol ketangguhan.
Leave a Reply