Banjir Pidie Jaya Membuat Gajah Tertumpuk Kayu Hingga Mati. Sabtu pagi, 29 November 2025, Desa Meunasah Lhok, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, jadi saksi pilu saat warga temukan bangkai gajah Sumatra tertumpuk kayu hutan akibat banjir bandang. Hewan endemik ini, yang terseret arus Sungai Meureudu, terjebak di tumpukan gelondongan besar dan lumpur setinggi lutut—setengah badannya terkubur, kepala mengarah ke bawah. Penemuan ini dua hari setelah hujan deras sejak 25 November picu luapan sungai, rusak ratusan rumah dan putuskan akses utama ke Sumatera Utara. Gajah Sumatra, dengan populasinya tinggal 1.700 ekor, mati kemungkinan karena tak bisa lepas dari material hanyut. BKSDA Aceh langsung kirim tim, sementara Gubernur Muzakir Manaf tetapkan darurat bencana hingga 11 Desember. Ini bukan cuma kehilangan satwa, tapi alarm ekosistem yang rapuh di tengah musim hujan ekstrem. INFO CASINO
Kronologi Banjir dan Penemuan Bangkai: Banjir Pidie Jaya Membuat Gajah Tertumpuk Kayu Hingga Mati
Bencana dimulai Selasa, 25 November, saat curah hujan 200 mm/hari bikin Sungai Meureudu meluap deras. Air campur lumpur dan kayu hutan—beberapa sebesar pohon dewasa—menyapu desa, hanyutkan kendaraan dan rusak 30 rumah di Meunasah Lhok. Warga seperti Muhammad Yunus, yang temukan bangkai pukul 08.00 WIB, cerita: “Gajah itu terperangkap di antara kayu-kayu besar yang tak pernah kami lihat sebelumnya.” Gajah diduga terseret dari hulu hutan lindung, tak sempat kabur saat arus datang. Tim BKSDA tiba siang hari, konfirmasi kematian karena tertindih material—bukan penyakit atau perburuan. Akses ke lokasi butuh jalan kaki dua jam melewati lumpur, bikin evakuasi sulit. Hingga sore, bau busuk mulai tercium, dan warga khawatir penyakit menular.
Penyebab Kematian dan Kerusakan Lingkungan: Banjir Pidie Jaya Membuat Gajah Tertumpuk Kayu Hingga Mati
Gajah Sumatra mati karena terseret banjir yang bawa ribuan ton kayu dari hulu sungai. Warga curiga kayu itu akibat penebangan liar, meski belum dikonfirmasi—Wakil Bupati Pidie Jaya Hasan Basri bilang: “Kami akan cek hutan untuk pastikan.” Banjir ini perburuk konflik manusia-satwa: gajah sering turun ke pemukiman cari makanan, dan luapan sungai putus jalur migrasi. Habitat gajah hilang 1.585 hektare sejak Januari 2024 hingga Oktober 2025, kata BKSDA. Di Aceh, kasus serupa tahun lalu matikan tiga gajah di Tesso Nilo, Riau. Kerusakan tak berhenti di gajah: 3.208 orang mengungsi, 10.437 terdampak di 16 kabupaten, plus Rp9 miliar kerugian infrastruktur. Kayu hanyut rusak sekolah, masjid, dan sawah—bukti deforestasi tingkatkan risiko banjir.
Respons Tim dan Tantangan Evakuasi
Tim gabungan—BKSDA, Polres Pidie Jaya, dan relawan—langsung gerak. Sabtu siang, alat berat tiba untuk angkat bangkai, tapi medan berlumpur bikin proses molor hingga Minggu. Protokol: bakar di tempat untuk cegah penyakit, plus otopsi cepat identifikasi jenis kelamin—diduga jantan dewasa. Hasan Basri koordinasi bantuan Rp50 juta per keluarga, relokasi 500 warga, dan patroli hutan cegah longsor susulan. BNPB kirim drone dan perahu karet, tapi cuaca buruk hambat. Warga bantu bersihkan puing, tapi khawatir: “Kayu ini bikin rumah hancur, gajah aja tak selamat.” BKSDA rencanakan GPS collar untuk gajah tersisa dan edukasi warga soal konflik satwa.
Kesimpulan
Banjir Pidie Jaya yang tumpuk gajah Sumatra dengan kayu hingga mati jadi tragedi ganda: hilangnya satwa langka dan kehancuran habitat. Dari luapan Sungai Meureudu hingga evakuasi sulit, ini soroti urgensi lindungi hutan lindung dari penebangan liar dan perubahan iklim. Pemerintah Aceh harus percepat selidiki, perkuat patroli, dan bantu warga bangkit—Rp9 miliar kerugian tak boleh sia-sia. Gajah ini wakili perjuangan spesies endemik; dengan darurat aktif, harapannya: langkah konkret lahir, agar Aceh tak lagi kehilangan raksasa hutan karena ulah manusia.











Leave a Reply