Netanyahu Mengutuk Semua Negara Pendukung Palestina. Di tengah sidang Umum PBB yang berlangsung di New York, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tiba-tiba mengeluarkan pernyataan pedas yang menargetkan seluruh negara yang mendukung Palestina. Pada 25 September 2025, Netanyahu berjanji akan “mengutuk” para pemimpin negara-negara tersebut, menyebut pengakuan terhadap negara Palestina sebagai “hadiah absurd bagi terorisme”. Pernyataan ini muncul setelah gelombang pengakuan baru-baru ini dari sekutu dekat Israel seperti Inggris, Kanada, Australia, Portugal, dan Prancis, yang mengumumkan pengakuan resmi terhadap negara Palestina sebagai langkah menuju solusi dua negara. Netanyahu, yang baru saja mendarat di AS untuk menghadiri sidang PBB, menegaskan bahwa negara Palestina “tidak akan pernah terjadi” di sebelah barat Sungai Yordan. Latar belakangnya adalah perang Gaza yang memasuki tahun kedua, dengan lebih dari 65.000 warga Palestina tewas sejak Oktober 2023, serta ekspansi pemukiman Israel di Tepi Barat yang semakin agresif. Respons Netanyahu ini bukan hanya retorika; ia menandai pergeseran dramatis di mana sekutu Barat mulai menjauh dari posisi tradisional AS-Israel, memicu potensi krisis diplomatik baru di panggung global. BERITA BASKET
Siapa Itu Netanyahu: Netanyahu Mengutuk Semua Negara Pendukung Palestina
Benjamin Netanyahu, sering disebut Bibi, adalah figur sentral dalam politik Israel selama hampir tiga dekade. Lahir pada 1949 di Tel Aviv, ia tumbuh di AS di mana ayahnya mengajar sejarah Yahudi, dan sempat belajar arsitektur serta manajemen di MIT. Netanyahu memulai karir militer di pasukan elit Sayeret Matkal, di mana kakaknya tewas dalam Operasi Entebbe 1976 yang menyelamatkan sandera Israel di Uganda. Setelah itu, ia bekerja di sektor swasta sebelum masuk politik pada 1980-an sebagai duta besar Israel di PBB, di mana ia dikenal vokal melawan ancaman Palestina dan Iran.
Netanyahu menjadi pemimpin partai Likud pada 1993 dan memenangkan pemilu pertama pada 1996 sebagai perdana menteri termuda saat itu. Ia menjabat tiga periode panjang: 1996-1999, 2009-2021, dan sejak 2022 hingga kini, menjadikannya pemimpin terlama dalam sejarah Israel. Di bawah kepemimpinannya, Israel menandatangani Abraham Accords yang menormalkan hubungan dengan UEA, Bahrain, dan Maroko, serta melancarkan serangan terhadap Iran dan Hizbullah. Namun, Netanyahu juga kontroversial: ia menghadapi tuduhan korupsi yang sedang diadili, dan kebijakannya di Gaza serta Tepi Barat dikritik sebagai penghalang perdamaian. Saat ini, di usia 75 tahun, Netanyahu memimpin koalisi sayap kanan paling ekstrem, termasuk menteri seperti Bezalel Smotrich yang mendorong aneksasi wilayah Palestina. Bagi pendukungnya, ia adalah pembela utama keamanan Israel; bagi kritikus, ia adalah arsitek isolasi internasional Israel.
Mengapa Dia Tidak Menyukai Negara Pendukung Palestina
Netanyahu melihat dukungan terhadap Palestina sebagai ancaman eksistensial bagi Israel, bukan sekadar isu diplomatik. Baginya, pengakuan negara Palestina berarti “hadiah bagi terorisme”, merujuk pada serangan Hamas 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1.200 warga Israel dan menculik ratusan sandera. Ia berargumen bahwa langkah seperti itu akan memberdayakan kelompok militan, melemahkan posisi tawar Israel, dan mengabaikan fakta bahwa 48 sandera masih ditahan. Secara historis, Netanyahu menentang solusi dua negara sejak lama, menyatakan bahwa negara Palestina akan menjadi “platform teror” di jantung Israel, terutama dengan rudal yang bisa menjangkau kota-kota besar.
Alasan ideologisnya berakar pada visi “Greater Israel”, di mana ia mendorong aneksasi Tepi Barat untuk menjamin mayoritas Yahudi dan keamanan. Pengakuan oleh negara-negara Barat seperti Inggris dan Prancis, yang ia anggap sekutu, terasa seperti pengkhianatan—terutama karena ia yakin itu didorong oleh politik domestik, seperti upaya memenangkan suara Muslim di Eropa. Netanyahu juga khawatir ini akan memicu gelombang lebih luas: kini 150 negara mengakui Palestina, dan tekanan di PBB bisa menghalangi veto AS. Di mata Netanyahu, dukungan ini bukan untuk perdamaian, tapi untuk melemahkan Israel di tengah perang Gaza yang ia anggap sebagai pertahanan sah. Singkatnya, ketidaksukaannya adalah campuran antara keamanan strategis, ideologi nasionalis, dan rasa frustrasi atas erosi dukungan internasional yang selama ini melindungi Israel.
Kutukan Apa Yang Disebutkan Netanyahu Untuk Negara Pendukung Palestina
Kutukan Netanyahu tegas dan berlapis, dirancang untuk menekan tanpa langsung memicu konfrontasi. Dalam pernyataan sebelum berangkat ke PBB, ia menyatakan akan “mengutuk para pemimpin yang, alih-alih mengutuk pembunuh, pemerkosa, dan pembakar anak, justru ingin memberi mereka negara di jantung tanah Israel”. Ia menyebut pengakuan itu “absurditas” dan “hadiah besar bagi terorisme”, menjanjikan bahwa “ini tidak akan terjadi”. Responsnya mencakup ancaman balasan bilateral: Israel sudah menarik duta besar dari negara-negara seperti Irlandia, Norwegia, dan Spanyol tahun lalu atas alasan serupa, dan kini mempertimbangkan hal sama untuk Inggris, Kanada, dan Prancis—termasuk menutup konsulat di Yerusalem Timur atau mengusir diplomat.
Netanyahu juga mengisyaratkan langkah domestik ekstrem, seperti mempercepat aneksasi wilayah besar di Tepi Barat, meski ini berisiko merusak Abraham Accords dengan UEA yang menolaknya sebagai “garis merah”. Menteri Luar Negeri Gideon Saar menyebut pengakuan oleh Australia, Kanada, dan Inggris sebagai “menggigit dan tidak bermoral”, sementara duta besar Israel di PBB, Danny Danon, menyatakan “kami akan bertindak” tanpa merinci. Di sidang kabinet minggu lalu, Netanyahu berjanji melawan “propaganda fitnah” di forum internasional, termasuk PBB. Kutukan ini, meski samar, bertujuan mengisolasi pendukung Palestina dan memperkuat narasi Israel sebagai korban, sambil memanfaatkan dukungan AS di bawah Trump untuk menangkal tekanan global.
Kesimpulan: Netanyahu Mengutuk Semua Negara Pendukung Palestina
Kutukan Netanyahu terhadap negara-negara pendukung Palestina menandai babak baru dalam isolasi Israel, di mana sekutu tradisional mulai memihak solusi dua negara untuk mengakhiri perang Gaza. Sebagai pemimpin veteran yang melihat Palestina sebagai ancaman mendasar, Netanyahu merespons dengan retorika keras dan ancaman balasan, tapi opsi nyatanya terbatas oleh realitas diplomatik. Sementara pengakuan oleh 150 negara memperkuat posisi Palestina di PBB, respons Israel bisa memicu siklus retaliasi yang memperburuk krisis kemanusiaan. Ke depan, sidang PBB ini akan menguji apakah kutukan Netanyahu cukup untuk membalikkan arus, atau justru mempercepat pergeseran global menuju pengakuan Palestina yang lebih luas—meninggalkan pertanyaan besar tentang perdamaian di Timur Tengah.
Leave a Reply