Reaksi China Atas Keingingan Trump Untuk Uji Coba Nuklir. Pada 30 Oktober 2025, tepat setelah Presiden Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif untuk melanjutkan uji coba senjata nuklir pertama sejak 1992, China langsung menyuarakan kecaman keras. Kementerian Luar Negeri Beijing menyebut langkah itu sebagai “provokasi berbahaya” yang mengancam stabilitas global, sambil mendesak Washington untuk “mematuhi dengan sungguh-sungguh” moratorium internasional. Pernyataan ini keluar hanya beberapa jam setelah Trump menyatakan bahwa Amerika harus “kembali ke meja permainan” untuk menjaga kesetaraan dengan kekuatan nuklir lain. Di tengah pertemuan sensitif antara Trump dan Presiden Xi Jinping di sela-sela kunjungan ke Asia, reaksi China tak hanya verbal, tapi juga disertai langkah diplomatik yang tegas. Ini menandai eskalasi dalam dinamika AS-China, di mana isu nuklir kini bercampur dengan perdebatan perdagangan dan keamanan regional. Sementara Trump memuji perintahnya sebagai langkah “perlindungan nasional”, Beijing melihatnya sebagai upaya untuk merusak fondasi perdamaian pasca-Perang Dingin. Respons cepat ini mencerminkan kekhawatiran mendalam China terhadap potensi perlombaan senjata yang bisa memicu ketidakstabilan di Pasifik. INFO CASINO
Pernyataan Resmi dan Nada Diplomatik China: Reaksi China Atas Keingingan Trump Untuk Uji Coba Nuklir
Beijing tak membuang waktu untuk merespons. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Lin Jian, dalam konferensi pers rutin pagi itu, secara tegas menyatakan bahwa China “berharap Amerika Serikat menahan diri dari tindakan yang merusak norma internasional”. Ia menekankan komitmen China terhadap Traktat Pelarangan Uji Coba Nuklir Komprehensif, yang meski belum diratifikasi AS, menjadi acuan global sejak 1996. Pernyataan ini bukan sekadar formalitas; ia disertai peringatan bahwa uji coba AS bisa “mendorong negara lain untuk mengikuti jejak serupa, meruntuhkan upaya denuklirisasi dunia”. Media resmi China, seperti People’s Daily, menerbitkan editorial yang menyebut perintah Trump sebagai “sikap egois yang mengabaikan tanggung jawab besar”. Nada diplomatiknya tetap terkendali, tapi tegas—menggemakan pendekatan Xi yang sering disebut “diplomasi serigala” dalam menghadapi tekanan Barat. China juga menyerukan pertemuan darurat di Dewan Keamanan PBB, di mana mereka siap memimpin resolusi untuk memperkuat moratorium. Respons ini didasari sejarah: Beijing ingat bagaimana uji coba nuklir AS di masa lalu memicu kekhawatiran di Asia, dan kini, dengan arsenal nuklir China yang sedang dimodernisasi, mereka tak ingin terlihat lemah. Secara keseluruhan, pernyataan resmi ini menunjukkan keseimbangan antara kritik dan undangan dialog, menghindari konfrontasi langsung tapi menjaga posisi moral tinggi.
Konteks Pertemuan Trump-Xi dan Isu Terkait: Reaksi China Atas Keingingan Trump Untuk Uji Coba Nuklir
Reaksi China datang di saat yang krusial: hanya sehari setelah pertemuan Trump-Xi di sisi konferensi keamanan regional. Meski agenda utama adalah perdagangan—termasuk kesepakatan sementara untuk menurunkan tarif impor dan membuka ekspor rare earth dari China—topik nuklir menyusup masuk. Trump, dalam wawancara singkat pasca-pertemuan, mengaitkan perintah uji cobanya dengan “ketidakadilan” dari modernisasi nuklir China, yang menurutnya melanggar semangat perjanjian bilateral. Xi, menurut sumber dekat, merespons dengan tenang tapi tegas, menyatakan bahwa “stabilitas nuklir adalah fondasi hubungan dua kekuatan besar”. Hasil pertemuan itu campur aduk: kesepakatan untuk membatasi ekspor bahan kimia prekursor fentanyl dari China ke AS, tapi ketegangan nuklir meninggalkan bayang-bayang. Beijing melihat perintah Trump sebagai taktik negosiasi—menggunakan ancaman nuklir untuk mendapatkan konsesi perdagangan. Ini bukan pertama kalinya; selama kampanye, Trump sering menggertak China dengan isu militer untuk menekan meja tawar-menawar. Namun, kali ini, respons China lebih vokal, mungkin karena kekhawatiran atas program rudal hipersonik AS yang baru. Pertemuan itu juga menyentuh isu Taiwan, di mana China memperingatkan bahwa uji coba nuklir bisa “memperburuk ketegangan di Selat”. Konteks ini menjelaskan mengapa reaksi Beijing tak hanya defensif, tapi juga strategis, bertujuan menjaga momentum diplomatik di tengah badai.
Implikasi Lebih Luas untuk Hubungan AS-China
Langkah Trump dan balasannya dari China berpotensi mengubah peta geopolitik. Pertama, di ranah non-proliferasi, uji coba AS bisa melemahkan pengaruh China di forum seperti ASEAN, di mana Beijing memimpin upaya anti-nuklir. Negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang, sekutu AS, mungkin mendukung Trump secara diam-diam untuk keseimbangan kekuatan, tapi ini berisiko mendorong proliferasi di kawasan—misalnya, mendorong India untuk lebih agresif terhadap Pakistan. Secara ekonomi, pasar global bereaksi cepat: indeks saham Shanghai turun 1,5% pagi itu, sementara dolar menguat terhadap yuan karena ketakutan eskalasi. China, yang bergantung pada ekspor ke AS, khawatir perintah ini jadi alasan baru untuk sanksi tambahan, meski kesepakatan rare earth memberi jeda sementara. Dari sisi militer, Angkatan Laut China mungkin tingkatkan patroli di Laut China Selatan sebagai sinyal balasan, sementara AS mempercepat pengiriman kapal induk ke wilayah itu. Bagi masyarakat, ini menimbulkan kekhawatiran etis: kelompok anti-nuklir di Beijing menggelar demonstrasi kecil, menyerukan “perdamaian melalui dialog, bukan ledakan”. Implikasi jangka panjang? Bisa jadi katalisator untuk perjanjian baru seperti perpanjangan New START, tapi juga pintu masuk bagi perlombaan senjata di mana China percepat programnya sendiri. Hubungan AS-China, yang sudah tegang, kini seperti benang tipis—satu tarikan salah bisa putus.
Kesimpulan
Reaksi China terhadap keinginan Trump untuk uji coba nuklir adalah campuran antara kecaman diplomatik dan strategi cerdas, mencerminkan kesiapan Beijing menghadapi era Trump yang tak terduga. Dengan desakan untuk mematuhi moratorium dan seruan dialog, China tak hanya melindungi kepentingannya, tapi juga memperkuat citra sebagai penjaga stabilitas global. Namun, di balik kata-kata halus, ada pesan tegas: jangan uji kesabaran kami. Bagi dunia, ini pengingat bahwa isu nuklir bukan permainan satu pihak—ia butuh tangan dingin dari kedua sisi Samudra Pasifik. Apakah ini akan memicu negosiasi baru atau eskalasi diam-diam, yang jelas hubungan AS-China memasuki fase lebih berbahaya. Trump dan Xi punya tanggung jawab besar; pilihan mereka hari ini bisa menentukan apakah nuklir tetap sebagai pencegah atau ancaman nyata besok.











Leave a Reply