Berita Terkini Urbandivers

Urbandivers merupakan situs yang menyediakan berita terkini seputar Indonesia maupun Dunia

Kenapa AS Sangat Bergantung Pada Negara China

kenapa-as-sangat-bergantung-pada-negara-china

Kenapa AS Sangat Bergantung Pada Negara China. Pada Oktober 2025, ketergantungan Amerika Serikat pada China kembali jadi sorotan utama di tengah eskalasi perang dagang baru yang dimulai dengan biaya pelabuhan tambahan sejak 13 Oktober. Dengan tarif impor China capai 58 persen dari AS dan balasan 33 persen dari Beijing, hubungan dua ekonomi raksasa ini tak lagi sekadar mitra dagang—ia jadi jaringan rumit yang sulit diputus. AS, yang impor barang dari China senilai 427 miliar dolar tahun lalu, bergantung pada rantai pasok global untuk segala hal, dari elektronik hingga mineral kritis. Meski upaya diversifikasi seperti friendshoring berjalan, ketergantungan ini tetap kuat, picu kekhawatiran resesi global seperti yang diungkap IMF baru-baru ini. Artikel ini kupas alasan utama ketergantungan itu, dari ekonomi hingga politik, sambil lihat upaya AS lepas diri dari jerat China. BERITA VOLI

Ketergantungan Ekonomi: Perdagangan yang Tak Terpisahkan: Kenapa AS Sangat Bergantung Pada Negara China

Ekonomi AS dan China terikat erat melalui perdagangan yang tak seimbang, di mana China jadi pemasok utama barang murah dan efisien. Tahun 2024, impor AS dari China capai 427 miliar dolar, atau 18 persen total impor—terutama elektronik konsumen, pakaian, dan mesin. China, sebagai pabrik dunia, produksi 28 persen manufaktur global, bikin AS hemat biaya hingga 500 miliar dolar per tahun. Eskalasi tarif baru 2025, yang naikkan biaya pelabuhan impor China, justru bukti betapa dalamnya ketergantungan: AS tak punya alternatif cepat untuk ganti pasokan itu.

Perang dagang Trump 2018-2020 gagal pisahkan keduanya—impor AS malah naik 20 persen pasca-pandemi karena permintaan vaksin dan alat medis. IMF perkirakan, jika ketegangan berlanjut, GDP AS turun 0,5 poin persen pada 2025-2026, sementara China hadapi inflasi impor. Ketergantungan ini tak simetris: AS ekspor 154 miliar dolar ke China, terutama kedelai dan pesawat, tapi China pegang kartu lebih kuat lewat surplus dagang 273 miliar. Tanpa China, harga barang AS naik 10-15 persen, tekan kelas menengah. Ini bukan ketergantungan sementara; ia fondasi ekonomi global yang dibangun 40 tahun terakhir.

Rantai Pasok dan Teknologi: Mineral Kritis dan Inovasi Terganggu: Kenapa AS Sangat Bergantung Pada Negara China

Rantai pasok jadi titik lemah terbesar AS, di mana China kuasai 80 persen pengolahan mineral langka seperti lithium dan kobalt—esensial untuk baterai EV dan semikonduktor. Pada 2025, ketegangan rare earth makin panas: China batasi ekspor ke AS, picu kekurangan pasokan yang naikkan harga baterai 20 persen. AS, yang impor 100 persen lithium olahan dari China, kini dorong friendshoring ke Australia dan Kanada, tapi produksi baru butuh 5-7 tahun. Investasi semikonduktor AS capai 250 miliar dolar hingga 2025, tapi 60 persen chip dasar masih dari rantai China-Taiwan.

Teknologi AS bergantung China untuk 70 persen komponen smartphone dan 50 persen drone militer. Pandemi 2020 bukti: kekurangan masker dan ventilator karena pabrik China tutup, rugikan AS 200 miliar dolar. Eskalasi 2025, dengan ancaman China potong rare earth, bisa hentikan produksi Tesla dan Boeing. Strategi AS seperti CHIPS Act 2022 dorong pabrik domestik, tapi ketergantungan tetap—China pegang 60 persen kapasitas pengolahan global. Ini tak cuma ekonomi; ia keamanan nasional, di mana gangguan rantai pasok bisa lumpuhkan industri pertahanan AS.

Implikasi Politik: Diplomasi dan Risiko Eskalasi

Politik AS-China tambah rumit ketergantungan ini, di mana perang dagang jadi alat diplomasi. Trump, kampanye Pilpres 2026, kritik Biden “terlalu lunak”, ancam tarif 60 persen jika terpilih—langkah yang IMF sebut bisa picu resesi global 3,2 persen GDP 2025. China balas dengan tarif 33 persen, tapi tetap jual obligasi AS senilai 800 miliar dolar, pegang kendali keuangan. Ketergantungan ini bikin diplomasi sulit: AS butuh China untuk isu iklim dan Korea Utara, meski tuduh mata-mata Huawei.

Implikasi jangka panjang: diversifikasi seperti USMCA dengan Meksiko tingkatkan impor non-China 15 persen, tapi China tetap 18 persen. Ketegangan 2025, termasuk larangan ekspor drone China ke AS, bisa eskalasi jadi perang dagang penuh. AS dorong aliansi Quad dengan India dan Jepang untuk ganti pasokan, tapi butuh waktu. Politik ini tak beri solusi cepat—ketergantungan jadi senjata dua mata, dorong negosiasi tapi juga konflik. Tanpa reformasi, AS risiko stagnasi inovasi, sementara China kuasai rantai pasok global.

Kesimpulan

Ketergantungan AS pada China, yang makin nyata di Oktober 2025, lahir dari perdagangan masif, rantai pasok mineral kritis, dan politik saling bergantung yang rumit. Eskalasi tarif dan ancaman rare earth tunjukkan betapa dalamnya ikatan ini—dari hemat biaya hingga risiko nasional. Meski upaya diversifikasi berjalan, China tetap raksasa yang sulit diganti. Bagi AS, ini pelajaran: ketergantungan ekonomi tak boleh jadi kelemahan strategis. Diplomasi dan inovasi jadi kunci—tanpa itu, perang dagang bisa rugikan semua pihak. Dunia tunggu langkah selanjutnya; dari mitra dagang ke rival, hubungan ini tak pernah membosankan.

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *