Kasus COVID-19 di Tiongkok Kembali Meningkat. Lima tahun setelah pandemi COVID-19 pertama kali muncul di Wuhan, Tiongkok kembali menjadi sorotan dunia akibat lonjakan kasus baru yang signifikan. Pada Mei 2025, laporan dari Chinese Centre for Disease Control and Prevention (CDC Tiongkok) menunjukkan peningkatan tajam dalam tingkat positif COVID-19, terutama di kalangan pasien rawat jalan dan kasus rawat inap. Gelombang ini, yang diduga didorong oleh varian JN.1 dan turunannya, telah memicu kekhawatiran global tentang potensi wabah baru. Di tengah musim panas yang biasanya meredam penyakit pernapasan, kenaikan kasus ini mengejutkan dan memunculkan pertanyaan tentang efektivitas strategi pengendalian Tiongkok pasca pencabutan kebijakan nol-COVID. Artikel ini akan mengulas kronologi lonjakan, penyebab, dampak, dan respons yang diambil, serta implikasinya bagi dunia. BERITA BOLA
Kronologi Lonjakan Kasus COVID-19
Menurut data resmi CDC Tiongkok pada 14 Mei 2025, tingkat positif COVID-19 di kalangan pasien influenza-like illness (ILI) di klinik rawat jalan dan unit gawat darurat meningkat dari 7,5% menjadi 16,2% antara 31 Maret hingga 4 Mei 2025. Untuk kasus rawat inap dengan infeksi pernapasan akut berat, tingkat positif naik dari 3,3% menjadi 6,3% dalam periode yang sama. Pada 27 Mei 2025, laporan media menyebutkan jumlah kasus aktif mencapai 168.507, angka tertinggi tahun ini. Gejala yang dilaporkan termasuk sakit tenggorokan parah, yang dijuluki “tenggorokan silet,” disertai demam dan kesulitan bernapas, mirip dengan infeksi influenza berat. Lonjakan ini terdeteksi di beberapa provinsi, termasuk Guangdong, Henan, dan Beijing, dengan rumah sakit melaporkan peningkatan kunjungan pasien.
Penyebab Gelombang Baru: Kasus COVID-19 di Tiongkok Kembali Meningkat
Para ahli mengaitkan lonjakan ini dengan beberapa faktor kunci. Pertama, varian JN.1, subvariasi dari Omicron, dianggap sebagai pendorong utama karena kemampuan penularannya yang tinggi, bahkan di musim panas. Kedua, penurunan kekebalan populasi setelah puncak infeksi terakhir pada musim panas 2024 menjadi perhatian, karena antibodi masyarakat mulai melemah. Ketiga, pencabutan kebijakan nol-COVID pada akhir 2022 telah mengurangi intervensi non-farmasi seperti karantina massal dan pengujian wajib, membuat populasi lebih rentan. Selain itu, efektivitas vaksin Sinovac dan Sinopharm terhadap varian baru dipertanyakan, terutama karena Tiongkok menolak penggunaan vaksin Barat secara luas. Kurangnya transparansi data, seperti berhentinya pelaporan kasus asimptomatik sejak Desember 2022, juga mempersulit pemahaman skala sebenarnya.
Dampak pada Sistem Kesehatan dan Masyarakat
Gelombang baru ini mulai membebani sistem kesehatan Tiongkok. Rumah sakit di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai melaporkan peningkatan kunjungan pasien, dengan beberapa klinik demam kembali dibuka untuk menangani lonjakan. Laporan media sosial menunjukkan antrean panjang di apotek untuk obat demam dan peningkatan permintaan alat tes mandiri. Dampak ekonomi juga mulai terasa, dengan kekhawatiran bahwa pembatasan lokal dapat mengganggu rantai pasok dan produksi, seperti yang dialami pada 2022 ketika lockdown di Shenzhen menghentikan operasi pemasok besar seperti Foxconn. Masyarakat, yang sudah lelah dengan pembatasan sebelumnya, menunjukkan tanda-tanda keresahan, dengan beberapa protes kecil dilaporkan di media sosial terkait potensi kembalinya lockdown.
Respons Pemerintah dan Tantangan Transparansi
Pemerintah Tiongkok telah merespons dengan langkah cepat, termasuk mengembalikan pengujian PCR di beberapa wilayah dan mendorong vaksinasi booster, terutama untuk lansia. Namun, fokus utama kini beralih dari pencegahan infeksi ke pencegahan penyakit berat, seperti yang dinyatakan oleh media resmi People’s Daily. Meski demikian, transparansi data tetap menjadi masalah. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kembali meminta data yang lebih cepat dan andal tentang rawat inap, kematian, dan kapasitas ICU, mengingat laporan resmi Tiongkok sering dianggap meremehkan jumlah kasus dan kematian. Pada Januari 2023, WHO memperkirakan lebih dari 1 juta kematian akibat COVID-19 di Tiongkok, jauh di atas angka resmi 87.511 hingga Maret 2023. Ketidakjelasan ini memicu skeptisisme global dan mendorong beberapa negara, termasuk AS dan Jepang, untuk memberlakukan tes wajib bagi pelancong dari Tiongkok.
Implikasi Global dan Langkah ke Depan
Lonjakan kasus di Tiongkok memiliki implikasi besar bagi dunia, terutama karena potensi munculnya varian baru dari populasi yang besar dan terinfeksi. Meskipun data dari GISAID menunjukkan bahwa varian saat ini mirip dengan yang telah beredar sejak Juli 2024, kekhawatiran tentang mutasi tetap ada. Negara-negara tetangga seperti Hong Kong, Singapura, dan Thailand juga melaporkan peningkatan kasus, menunjukkan risiko penyebaran regional. Untuk mengatasi ini, kerja sama internasional, termasuk berbagi data sekuens virus dan kampanye vaksinasi global, menjadi krusial. Di dalam negeri, Tiongkok perlu meningkatkan cakupan vaksinasi booster dan memperbaiki infrastruktur kesehatan untuk menghindari tekanan berlebih pada rumah sakit.
Kesimpulan: Kasus COVID-19 di Tiongkok Kembali Meningkat
Kembalinya lonjakan kasus COVID-19 di Tiongkok pada Mei 2025 adalah pengingat bahwa pandemi belum sepenuhnya usai. Meskipun peningkatan ini dianggap sebagai fluktuasi normal oleh beberapa ahli, gejala berat dan tekanan pada sistem kesehatan menunjukkan perlunya kewaspadaan. Tantangan transparansi data dan efektivitas vaksin menjadi hambatan utama, sementara dunia menanti langkah Tiongkok untuk mengendalikan gelombang ini. Dengan pendekatan yang lebih terbuka dan kolaborasi global, Tiongkok dapat memitigasi dampak gelombang ini dan mencegah krisis yang lebih besar. Bagi masyarakat global, ini adalah panggilan untuk tetap waspada dan memperbarui perlindungan terhadap ancaman yang terus berevolusi.
Leave a Reply